Tabanan – Menanggapi adanya keterangan saksi ahli hukum adat dan agraria Prof. Dr. I Made Suwitra, SH., MH., di Pengadilan Negeri (PN) Tabanan beberapa waktu lalu, salah satu Penasihat Hukum (PH) yang tergabung dalam Tim Advokasi Desa Adat Kelecung, I Wayan Sutita, SH., alias Wayan Dobrak mengharapkan Majelis Hakim mampu bersikap rasional dan objektif, melahirkan putusan yang adil terkait Sengketa Plaba Pura Dalem Kelecung dengan pihak A A Mawa Kesama CS selaku Penguggat.

Ia mengatakan, sebagaimana telah dijelaskan dalam fakta persidangan oleh Prof Suwitra dalam perkara gugatan No. 190/Pdt.G/2023/PN Tabanan, telah menyatakan bahwa Sertifikat Hak Milik (SHM) merupakan bukti kuat kepemilikan yang bukan lagi dalam konteks penguasaan. Ia menilai keterangan ahli menguatkan dasar yang dimiliki Desa Adat Kelecung, telah dijelaskan bahwa tanah sengketa merupakan tanah ulayat, berdasarkan ciri fisiknya yang sejak dulu sudah dikuasai oleh desa ataupun krama (masyarakat) adat untuk berbagai kegiatan.

Baca Juga  Pria Dharsana Sebut Pembubaran PWF Coreng Citra Bali di Mata Dunia

“Sudah jelas mereka (penggugat, red) salah alamat, saksi ahli juga sudah menjelaskan soal itu. Kalau kita kilas balik dari perjalanan sidang, adanya keterangan dari enam orang saksi yang dihadirkan penggugat selama persidanhan telah dipatahkan oleh keterangan ahli yang menyampaikan sebagaimana faktanya. Saya berharap Hakim bisa rasional dan melahirkan putusan yang adil,” ungkap Wayan Dobrak, Senin (5/2/24).

Selanjutnya ia menekankan, bahwa tanah yang dimohonkan tersebut merupakan tanah sepadan pantai bersatus governor ground (GG) atau tanah milik negara, sudah dikuasai selama bertahun-tahun oleh para nelayan Kelecung sebagai tanah ulayat, pada akhirnya secara sah dimiliki oleh Desa Adat Kelecung melalui proses Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).

Baca Juga  Tim SAR Temukan Jenazah ABK yang Tenggelam di Pelabuhan Benoa

Jika disesuaikan dengan keterangan ahli menyatakan bahwa, seharusnya gugatan dilakukan terhadap proses pensertifikatan bukan lagi terhadap alas hak yang sudah terbit dan sah secara hukum kepemilikannya. Penggugat harus bisa membuktikan, bahwa proses pensertifikatan dan penguasaannya tidak benar.

“Keterangan ahli menyatakan, semua berkas permohonan atas nama Desa Adat Kelecung itu sah! Saya melihat pihak penggugat terus berusaha memutar balikan fakta, menutupi kebenaran, jelas diketahui secara bersama-sama bagaimana proses hingga terbitnya sertifikat ke masing-masing pihak itu berjalan sesuai aturan,” pungkas Dobrak.

Ia juga memaparkan bagaimana perjalanan sejarah sengeketa tersebut, pernah dilaporkan di Kepolisian Resor (Polres) Tabanan oleh para penggugat, hingga diterbitkannya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) Nomor Dumas/16/I/2021/Satreskrim per tanggal 29 Januari 2021.

Baca Juga  Pengungkapan 10 Ribu Rokok Ilegal, Kapolres Jembrana: Perlu X-ray di Gilimanuk

“Sejarah membuktikan, bagaimana saat itu (2021, red) masyarakat dibuat ketakutan oleh laporan mereka (penggugat saat ini, red) secara pidana ke Polres Tabanan, namun berakhir dengan SP3 karena mereka tidak cukup bukti. Entah apa yang membuat mereka sangat berambisi menguasai? Padahal jelas mereka sendiri langsung menunjuk batasnya dan proses pensertipikatnya bersamaan. Kenapa saat alas hak sudah terbit baru dipermasalahkan, bukan saat prosesnya? Ini kan janggal sekali,” sentilnya.

Dobrak berharap, sengketa ini bisa dijadikan pelajaran bagi masyarakat Bali. Agar kedepan sengketa seperti ini tidak menjadi polemik baru urusan pertanahan di Bali, menimbulkan kesewenang-wenangan (Abuse of Power) menjadikan masyarakat ada sebagai korbannya.

Reporter: Gung Krisna

Editor: Ngurah Dibia