Buleleng – Sengketa tanah negara bekas HGB No. 44 di Desa Pancasari terus bergulir. Kuasa hukum warga, Jro Komang Sutrisna S.H., secara tegas membantah klaim PT Sarana Buana Handara (SBH) yang menyatakan memiliki hak prioritas untuk mengajukan permohonan pengelolaan tanah tersebut berdasarkan Pasal 37 ayat (3) dan (4) PP No. 18 Tahun 2021.

“Pasal 37 PP No. 18/2021 jelas menyebutkan bahwa hak prioritas hanya dapat diberikan jika tidak bertentangan dengan rencana tata ruang, kepentingan umum, dan peraturan lainnya. Dalam kasus ini, klaim PT SBH bertentangan dengan semua itu. Warga telah memanfaatkan tanah ini secara produktif, sedangkan PT SBH tidak memanfaatkan tanah ini sesuai dengan peruntukannya selama masa HGB aktif,” tegas Jro Komang Sutrisna kepada wartawan, Rabu (25/12/2024).

Jro Komang Sutrisna menekankan bahwa hak prioritas tidak dapat diberlakukan tanpa bukti pemanfaatan tanah yang sesuai dengan tujuan pemberian hak. “Tujuannya tidak ada, faktanya tidak ada yang diusahakan. Hak prioritas itu otomatis gugur,” tegasnya.

Ia juga menjelaskan bahwa setelah menjadi HGB, sebagian hak yang berkaitan dengan batas waktu pengelolaan kembali menjadi kewenangan negara. “Masalah awalnya terkait jual beli dan pembayaran pajak, tetapi aturan tidak mencantumkan syarat khusus untuk memanfaatkan tanah. Jika tidak digunakan sesuai tujuan, maka negara memiliki wewenang penuh untuk mengelola ulang tanah tersebut,” paparnya.

Baca Juga  Bali Handara Kangkangi Tanah Negara, Warga Layangkan Keberatan ke ATR/BPN

Menurutnya, PT SBH tidak layak mengajukan hak prioritas, mengingat lahan tersebut terbengkalai selama masa HGB. “Fakta bahwa tanah ini tidak dimanfaatkan sesuai peruntukan jelas membuktikan bahwa PT SBH tidak memenuhi syarat,” tambah Jro Komang.

Kuasa hukum warga, Jro Komang Sutrisna. dok/wacanabali.com
Kuasa hukum warga, Jro Komang Sutrisna. dok/wacanabali.com

Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya manfaat tanah bagi warga sekitar. “Tanah negara harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, seperti diamanatkan oleh UUD 1945. Warga telah membuktikan bahwa mereka mampu memanfaatkan tanah ini untuk kepentingan sosial dan ekonomi. Mereka yang menempati lahan ini adalah warga tidak mampu dan tergolong fakir miskin yang tidak memiliki tempat tinggal tetap,” tegasnya.

Selain itu, Jro Komang menyoroti adanya nota kesepahaman (MoU) antara PT SBH, Kepala Desa, dan Bendesa Adat, yang menurutnya tidak transparan dan sarat konflik kepentingan. “MoU ini dibuat tanpa melibatkan warga secara terbuka. Jika ada pelanggaran, kami tidak akan ragu membawa kasus ini ke ranah hukum,” ujarnya.

Ia juga mendesak pemerintah dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk berpihak pada masyarakat dalam proses pengelolaan tanah tersebut. “Kami berharap pemerintah tidak tergoda dengan klaim sepihak dan tetap mengutamakan kepentingan rakyat yang selama ini memanfaatkan tanah ini secara produktif,” pungkas Jro Komang Sutrisna.

Baca Juga  GTI Buleleng Desak Sri Mulyani Audit Status Lahan Bali Handara Golf

Untuk diketahui sebelumnya, Kuasa hukum PT SBH, Asep Jumarsa, S.H, M.H, C.L.A dalam keterangannya, menjelaskan bahwa status tanah tersebut memang telah kembali menjadi tanah negara, namun bekas pemegang HGB memiliki keistimewaan untuk mengajukan permohonan pengelolaan kembali.

“Pasal 37 PP No. 18 Tahun 2021 dengan jelas menyatakan bahwa bekas pemegang hak diberikan prioritas untuk mengajukan kembali permohonan atas tanah eks-HGB. Klien kami, PT Sarana Buana Handara, adalah bekas pemegang HGB No. 44 tahun 2003 yang memperoleh hak tersebut secara sah melalui proses jual beli,” ujar Asep Jumarsa.

Sisi lain ia juga menyinggung adanya nota kesepahaman (MoU) antara pihak SBH dengan Kepala Desa Pancasari dan Bendesa Adat. Dalam MoU tersebut, disepakati bahwa jika SBH berhasil mendapatkan hak pengelolaan tanah kembali, mereka akan bekerja sama dengan Bumdes Pancagiri Kencana untuk mengelola tanah tersebut secara produktif dengan sistem bagi hasil.

Baca Juga  Telikung Hasil Gelar Perkara Khusus, Unud Nekat Sertipikatkan Tanah Sengketa

“Klien kami tidak hanya mengajukan permohonan HGB semata, tetapi juga telah menjalin komunikasi dengan perangkat desa dan masyarakat setempat untuk memastikan manfaat ekonomi dari tanah tersebut dapat dirasakan oleh warga desa, terutama melalui Bumdes Pancagiri Kencana,” jelasnya.

Asep Jumarsa menegaskan bahwa pihaknya menjalankan proses pengajuan HGB sesuai dengan aturan yang berlaku dan terbuka terhadap dialog.

“Kami selalu membuka pintu komunikasi dengan pihak-pihak yang keberatan, termasuk warga yang memanfaatkan tanah tersebut. Namun, klaim kepemilikan tanpa dasar hukum oleh beberapa warga tentu tidak dapat dibenarkan,” tambahnya.

Dalam pembelaannya, kuasa hukum SBH juga menyoroti komitmen kliennya sebagai wajib pajak. Meski status tanah tersebut telah kembali menjadi tanah negara, SBH tetap membayar pajak atas lahan itu sebagai bentuk tanggung jawab dan itikad baik.

Menanggapi kritik bahwa SBH menggunakan dalih hak prioritas untuk mempertahankan monopoli,
Asep Jumarsa membantah tegas.

“Klien kami tidak pernah menghalangi warga untuk mengajukan permohonan serupa ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun, perlu diingat, prioritas pengelolaan tetap berada pada bekas pemegang hak, sebagaimana diatur dalam peraturan,” tegasnya.