Ketika Ipung Bicara Dugaan Eksploitasi BTID, Bandesa Adat Serangan Sibuk Klarifikasi
Denpasar – Pulau Serangan kembali menjadi sorotan setelah pengacara sekaligus aktivis perempuan dan anak, Siti Sapurah yang akrab disapa Ipung, secara lantang menyerukan terjadinya eksploitasi Pulau Serangan oleh PT Bali Turtle Island Development (BTID) yang diduga tidak terlepas dari peran tokoh lokal dan bandesa adat setempat.
Pernyataan Ipung ini justru langsung mendapat reaksi dari Bandesa Adat Serangan Nyoman Gede Pariartha. Ia dikabarkan hingga mengadakan peparuman atau rapat dan mengundang warga dan sejumlah media untuk berorasi menyerang balik Ipung.
Bahkan berdasarkan informasi dapat digali, mendesak Ipung untuk melakukan klarifikasi terkait pernyataannya di media dan podcast yang menyoroti dampak eksploitasi BTID terhadap kesucian delapan pura.
Menurut Ipung, langkah dilakukan jro bandesa adat justru menampakkan diri sebagai bagian dari upaya sistematis perusahaan untuk mengalihkan perhatian dari masalah utama, yaitu eksploitasi lahan yang mengancam kehidupan sosial, budaya, dan spiritual masyarakat setempat.
“Yang terjadi di Serangan saat ini adalah taktik adu domba yang memalukan. Alih-alih menjawab kritik masyarakat, mereka justru membuat warga saling curiga dengan memanfaatkan institusi adat. Ini jelas penghancuran solidaritas yang dirancang secara sistematis,” tegas Ipung dalam pernyataannya pada Sabtu (28/12/2024).
Ia menjelaskan Pulau Serangan, yang dikenal sebagai pusat spiritual dengan delapan pura sakral, kini menghadapi ancaman nyata akibat eksploitasi yang dilakukan atas nama pembangunan. Ipung memperingatkan bahwa kerusakan ini tidak hanya berdampak pada lingkungan fisik, tetapi juga mengancam identitas masyarakat dan hak mereka atas warisan leluhur.
“Delapan pura ini adalah jantung spiritual Pulau Serangan. Jika eksploitasi lahan ini terus berlanjut, dalam 5-10 tahun ke depan, ruang fisik dan spiritual masyarakat akan hilang. Ini bukan hanya soal tanah, tetapi juga tentang keberlanjutan budaya dan hak masyarakat atas sejarah leluhurnya,” ujar Ipung.
Ipung menilai PT BTID dengan sengaja memanfaatkan institusi adat untuk mengalihkan perhatian dan menutupi kerusakan yang mereka lakukan. Menurutnya, strategi ini bukan hal baru dalam konflik tanah di Bali, tetapi pada ujungnya sangat merugikan masyarakat lokal.
“Mereka menggunakan adat sebagai tameng untuk menghindari tanggung jawab. Ini adalah penghinaan terhadap institusi adat dan nilai-nilai budaya kita,” tegas Ipung.
Sementara berapa warga serangan menyayangkan sikap Jero Bandesa Adat Serangan, I Nyoman Gede Pariatha, yang dinilai lebih sibuk melakukan klarifikasi terkait kritik Ipung, daripada menekan PT BTID untuk bertanggung jawab atas kerusakan dan masalah yang timbul.
“Kenapa jero bandesa sibuk membela perusahaan yang justru merampas hak masyarakatnya? Ini jelas pengalihan isu yang mengorbankan solidaritas warga,” ucap seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Menurut warga, sikap jero bandesa yang lebih fokus pada klarifikasi daripada membela kepentingan masyarakat menciptakan kebingungan di tengah perjuangan melawan dugaan eksploitasi PT BTID.
“Kami butuh pemimpin adat yang berpihak pada masyarakat, bukan menjadi tameng perusahaan,” singgungnya.
Sisi lain untuk diketahui Bandesa Adat Serangan I Nyoman Gede Pariartha dalam orasinya mengatakan, Ipung telah menyampaikan fitnah dan kebohongan di media dan media sosial.
Pariartha tidak ingin, Siti Sapurah membahas perihal keberadaan pura-pura suci di Desa Adat Serangan dan hal itu dianggapnya sudah masuk ke wilayah keyakinan orang lain.
Ia menegaskan, BTID dan Kura-Kura Bali selalu menjalin hubungan baik dengan Desa Adat Serangan. Selama ini juga dikatakan tidak ada pula permasalahan serius.
Bahkan, ia menyampaikan BTID yang ada di wilayah Serangan telah memenuhi janji yang tertera dalam MoU. Di mana pada MoU, BTID wajib memberikan lahan 6,5 hektar kepada desa adat. Namun dengan berbaik hati, BTID malah memberi lebih yakni 7,3 hektar.
Dari jumlah itu lebih dari 45 are diserahkan kepada warga kampung Bugis yang sebelumnya digusur karena sengketa lahan.
”Kami selalu menjaga harmonisasi dan komunikasi,” pungkas Pariartha. (wan)
Editor: Irawan
Tinggalkan Balasan