Undang-Undang Lebih Tinggi dari Keputusan Menteri dalam Kasus Lahan Bekas HGB PT SBH
Buleleng – Sengketa lahan negara bekas HGB PT Sarana Buana Handara (SBH) di Pancasari, Buleleng, terus bergulir. Sebelas warga yang menempati lahan tersebut, melalui kuasa hukumnya, Jro Komang Sutrisna, S.H menegaskan pentingnya pengakuan atas hierarki hukum, di mana undang-undang berada di atas keputusan menteri.
Jro Komang Sutrisna menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), tanah dengan status HGB yang tidak dimanfaatkan sesuai peruntukannya selama jangka waktu tertentu dapat dinyatakan terlantar. Hal ini diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.
“Lahan bekas HGB PT Sarana Buana Handara ini sudah lama tidak digunakan sebagaimana mestinya. Sekarang tergantung laporan pemerintah daerah dan ATR/BPN Buleleng apakah sesuai fakta di lapangan apa tidak dilaporkan ke Menteri. Dalam hierarki hukum, undang-undang memerintahkan bahwa tanah semacam ini harus dikembalikan sebagai tanah negara,” ujar Jro Komang Sutrisna di Buleleng, Senin (06/01/2025)
Menurutnya, keputusan subjektif seorang menteri tidak dapat mengesampingkan aturan yang lebih tinggi, yaitu undang-undang. Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN hanya memiliki kewenangan administratif untuk mengesahkan status tanah terlantar berdasarkan fakta hukum yang dilaporkan.
“Jika ada menyatakan keputusan tanah terlantar hanya dari menteri itu sepenuhnya tidak benar. Menteri tidak bisa mengabaikan fakta hukum di lapangan. Undang-undang sudah tegas, tanah yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun berturut-turut bisa dinyatakan terlantar. Ini bukan soal kebijakan, tapi kewajiban hukum yang harus dijalankan,” tambahnya.
Laporan dari Pemda Buleleng menunjukkan bahwa lahan bekas HGB tersebut telah dibiarkan kosong dan tidak digunakan selama bertahun-tahun. Kondisi ini dinilai merugikan masyarakat sekitar yang seharusnya bisa memanfaatkan lahan tersebut untuk kebutuhan produktif, seperti pertanian atau perumahan.
“Kami meminta pemerintah pusat, khususnya Kementerian ATR/BPN, untuk menjalankan amanat undang-undang dan mengembalikan tanah ini sebagai tanah negara. Jangan sampai ada celah hukum yang disalahgunakan untuk kepentingan tertentu,” tegas Jro Komang Sutrisna.
Menurutnya, kasus ini menyoroti pentingnya penegakan hukum yang konsisten sesuai hierarki perundang-undangan. Jika keputusan menteri bertentangan dengan undang-undang, maka keadilan bagi masyarakat yang terdampak akan terabaikan.
“Keputusan ini bukan hanya soal lahan, tapi juga soal tegaknya hukum dan keadilan. Jika undang-undang tidak dipatuhi, bagaimana masyarakat bisa percaya pada pemerintah?” tutup Jro Komang Sutrisna.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa hukum harus ditegakkan secara adil, tanpa kompromi terhadap kepentingan yang bertentangan dengan aturan tertinggi. Pemerintah pusat diharapkan segera mengambil langkah tegas untuk memastikan kepastian hukum atas lahan bekas HGB PT Sarana Buana Handara.

Tinggalkan Balasan