Pulau Serangan, Tempat Menata Rasa Mpu Kuturan dan Dang Hyang Nirartha Dijarah
Denpasar – Pulau Serangan bukan sekadar sepetak daratan yang bisa ditakar dengan kepentingan ekonomi. Serangan adalah tanah suci yang lahir dari semadi leluhur, tempat Mpu Kuturan merapal Dharma dan Dang Hyang Nirartha menulis Hanyang Nirartha dalam kebeningan batin. Kini, tanah yang dahulu disucikan dalam tapa dan sastra itu, dicengkeram rakus oleh kepentingan manusia yang hanya berpikir untuk mendapatkan uang.
Budayawan Sugi Lanus menyoroti bagaimana Pulau Serangan, yang sejak 1001 Masehi menjadi titik suci pemuliaan Mahasuci Buddha Sakhya, kini direduksi menjadi sekadar proyek KEK Kura-Kura. Sebuah branding yang bukan sekadar perubahan nama, tetapi pembelokan sejarah, penghapusan jejak spiritualitas yang diwariskan oleh para Maharesi.
“Serangan adalah Sira-angen, tempat orang mengangankan Yang Maha Suci dalam keheningan jiwa. Dahulu Mpu Kuturan dan Dang Hyang Nirartha datang ke sini bukan untuk membangun beton, tetapi untuk menata rasa, menulis kebenaran. Sekarang, tempat yang dahulu menjadi ruang kontemplasi malah dijadikan barang dagangan. Ini perampokan dalam kemasan ‘kemajuan’,” ujar Sugi Lanus yang ditulis dalam Instagram.
Pulau Serangan telah dua kali dijarah. Pertama, pada 1995-1998, saat pasirnya diaduk, tanahnya dicabut dari akar leluhur, dan lautnya ditimbun hingga lenyap lah batas antara alam dan manusia. Kedua, di era kini, saat ia dipoles dengan citra modern, diberi cap sakti Tri Hita Karana, seolah-olah warisan spiritualnya baru lahir dari tangan investor.
Pulau Serangan sejak dahulu adalah tempat perjalanan batin, bukan sekadar wilayah geografis. Di sinilah Pura Sakenan berdiri sebagai tempat memuliakan Mahasuci Buddha Sakhya, leluhur spiritual Siddhartha Gautama. Nama “Sakenan” sendiri berasal dari istilah “Sakhya” atau “Sakyanam”, yang dalam pemujaan Waisnawa merujuk pada rasa persahabatan manusia dengan Tuhan.
Dari abad ke abad, Serangan menjadi ruang suci bagi para leluhur. Dang Hyang Nirartha, seorang Maharesi, memilih Serangan sebagai tempat mengolah rasa dan mengabadikan kebijaksanaan dalam sastra Kawi. Ia mengalami kalangwan keterpanaan spiritual dalam keindahan Serangan yang masih alami, tanpa gangguan hiruk-pikuk dunia.
Namun kini, segala sesuatu yang lahir dari keheningan itu hendak ditenggelamkan dalam arus kepentingan industri dan investasi.
“Mereka bicara tentang keseimbangan, tentang harmoni, tapi yang mereka lakukan adalah menghapus jejak. Pura Sakenan bukan lahir dari hotel dan resor, tapi dari kidung doa yang bergema sejak Mpu Kuturan memuliakan Buddha Sakhya. Jika ini dibiarkan, kelak yang tersisa hanya nama tanpa makna, simbol tanpa nyawa,” tambah Sugi Lanus.
Menurut Sugi Lanus, narasi Tri Hita Karana yang digunakan oleh proyek KEK Kura-Kura adalah alat pembenaran untuk perampasan budaya. Istilah yang seharusnya bermakna mendalam tentang keseimbangan hidup manusia, alam, dan Tuhan, kini dipakai sebagai jargon pemasaran untuk menutupi eksploitasi.
“Lihat bagaimana mereka membungkus proyek ini dengan slogan-slogan suci. Padahal yang mereka lakukan adalah mencabut akar leluhur, menghapus jejak sejarah, dan menjadikan spiritualitas sebagai produk yang bisa dijual. Ini bukan pelestarian budaya, ini adalah eksploitasi dengan kemasan modern,” tegasnya.
Ia menyoroti bahwa Serangan bukanlah tempat yang bisa direklamasi ulang dalam narasi baru tanpa mempertimbangkan sejarahnya. Pada tahun 1995-1998, reklamasi telah menghapus banyak jejak asli Serangan, mengubah bentang alamnya, menggusur masyarakat adat, dan menghancurkan ekosistem yang telah terjaga selama berabad-abad.
Kini, 2024-2025, ancaman itu muncul kembali, tetapi dengan pendekatan yang lebih halus: bukan dengan alat berat, melainkan dengan strategi branding dan kapitalisasi budaya.
Dalam unggahan di media sosial Instagramnya, Sugi Lanus menulis dengan tajam.
“Jangan bungkus perampokan dengan narasi spiritual. Pulau Serangan bukan KEK yang bisa dijual dengan nama cantik. Ia lahir dari doa dan samadi, bukan dari tangan investor. Jika kita diam, kelak yang tersisa hanyalah nama tanpa makna, pura tanpa nyawa, dan sejarah yang terhapus dalam beton.” tulisnya.
Pulau Serangan adalah warisan yang lahir dari semadi dan sastra, bukan sekadar daratan yang bisa dibeli, dijual, atau di branding. Jika eksploitasi ini terus terjadi, yang akan tersisa bukanlah keseimbangan spiritual, melainkan warisan leluhur yang terkikis oleh keserakahan zaman.

Tinggalkan Balasan