Denpasar – Upaya PT Sarana Buana Handara (PT SBH) untuk kembali menguasai tanah negara seluas 6,7 hektare di Buyan, Pancasari, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, kini semakin terang-terangan.

Setelah gagal menekan warga melalui pemasangan plang sepihak yang kemudian dibatalkan oleh Satpol PP atas instruksi tegas Pemkab Buleleng, PT SBH kini mencoba strategi baru, menghadirkan daftar “penggarap bayangan” ke Kanwil BPN Provinsi Bali.

“Alih-alih menghormati hasil mediasi resmi di tingkat kabupaten yang menyebut pemasangan plang sebagai pelanggaran etika, mereka malah menyeret perkara ini ke BPN Provinsi. Untung kami segera tahu,” ujar Jro Komang Sutrisna, S.H., kuasa hukum 11 warga pengelola lahan, Kamis (22/5/2025).

Yang lebih mengejutkan, menurut Jro Sutrisna, PT SBH menyodorkan daftar 14 nama yang disebut sebagai “penggarap”, padahal sebagian besar dari mereka tak pernah diakui dalam proses mediasi sebelumnya.

Langkah ini dinilai sebagai bentuk manipulasi legalitas demi merebut kembali tanah negara yang secara hukum seharusnya telah kembali ke negara sejak izin HGB No. 044 milik PT SBH berakhir pada 2012.

Baca Juga  Perbekel Pancasari Sebut Plang Bali Handara di Atas eks SHGB 44 tak Sah

Lebih lanjut dijelaskan, mengacu pada Pasal 24 PP No. 40 Tahun 1996, Hak Guna Bangunan (HGB) yang tidak diperpanjang akan otomatis kembali menjadi tanah negara. Namun anehnya, PT SBH masih bersikukuh merasa memiliki “hak prioritas”, padahal lahan itu telah dibiarkan kosong tanpa pembangunan maupun kontribusi sosial selama masa berlakunya HGB.

Kini, lahan tersebut dikelola oleh warga miskin secara produktif, sesuai ketentuan Pasal 67 UU No. 39 Tahun 2008 serta Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2016 tentang penguasaan dan pemanfaatan tanah negara oleh masyarakat secara fisik dan berkelanjutan.

“Mereka bukan penggarap PT SBH. Mereka pernah disodori formulir kosong, yang ternyata memuat klausul bahwa mereka meminjam tanah milik perusahaan dan wajib menyerahkannya kembali tanpa kompensasi. Setelah sadar dijebak, klien kami langsung mencabut pernyataan tersebut. Tapi anehnya, nama mereka tetap dicatut,” ungkap Sutrisna.

Baca Juga  Tanah Negara ! Kadis Perkim Buleleng Tegaskan Plang PT SBH Dicabut

Sutrisna menjelaskan bahwa para warga telah mengelola tanah itu sejak 1970-an berdasarkan izin lisan dari Perbekel Wayan Widia, jauh sebelum SHGB terbit pada 1997. Tidak ada kontrak, tidak ada setoran hasil, dan tidak pernah mengakui PT SBH sebagai pemilik lahan.

Menurut Sutrisna, PT SBH juga mengabaikan hasil rapat resmi di Dinas Perkimta Buleleng pada 6 Januari 2025. Alih-alih menyelesaikan konflik secara sah dengan warga yang sudah lama tinggal dan mengelola lahan, mereka justru memunculkan nama-nama baru yang tidak pernah hadir dalam proses mediasi sebelumnya.

“Bahkan lima warga sudah disomasi dan diusir dari lahan itu. Ini bukan sekadar pelecehan hukum, tapi juga penghilangan eksistensi masyarakat kecil yang hidup dari tanah tersebut,” tegas Sutrisna.

Baca Juga  Picu Keresahan, Warga Minta Pemkab Buleleng Turunkan Plang PT SBH di Tanah Negara

Pihaknya kini telah sepakat dengan Kanwil BPN Bali untuk melakukan verifikasi lapangan guna memastikan fakta di lapangan.

Kabid Pengendalian dan Penanganan Sengketa Kanwil BPN Bali, Hardiansyah, S.H., M.H., menegaskan bahwa pihaknya masih berhati-hati dan dalam tahap verifikasi.

“HGB yang tidak dimanfaatkan memang bisa diajukan sebagai tanah terlantar. Klaim ulang tidak bisa asal-asalan, apalagi kalau secara fisik tanah itu dikuasai warga dan tak ada pembangunan selama bertahun-tahun,” kata Hardiansyah.

Ia menyebut verifikasi lapangan akan dilakukan dalam waktu dekat agar proses berjalan objektif dan tidak bias informasi. “Kami pastikan semua berjalan kondusif dan tidak menimbulkan keresahan baru,” tandasnya.

Kini, perhatian publik tertuju pada Kanwil BPN Bali. Akankah lembaga ini berdiri bersama masyarakat kecil yang telah menjaga dan mengolah tanah secara nyata selama puluhan tahun? Atau akan kembali tunduk pada tekanan korporasi yang gagal mengelola lahan?