Denpasar – Adanya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 atas perubahannya di UU Nomor 32 Tahun 2004 menjadi proteksi terhadap konsep otonomi luas, dinilai sebagai suatu era kebangkitan otonomi daerah di Indonesia khususnya Bali, menjadi wadah aspirasi masyarakat dalam kerangka negara kesatuan, menunjukkan arti kemerdekaan sesungguhnya.

Semangat otonomi daerah seiring kebangkitan sektor ekonomi kreatif sebagai arus pendapatan alternatif selain pariwisata, sumber daya strategis pengganti mineral (minyak, gas bumi). Hal itu sejalan dengan dinamika politik serta respon terhadap desentralisasi.

Menurut salah seorang Budayawan Bali, Dr IB Rai Dharmawijaya Mantra (Rai Mantra) memandang, sudah selayaknya Bali diperlakukan istimewa sebagai salah satu wilayah penyumbang negara berupa devisa, dengan harapan untuk mewujudkan local accountability (tanggung jawab daerah, red) melalui pendekatan ekonomi berbasis budaya Bali, sesuai dengan kondisi masyarakat, kekhasan, dan potensi unggulan yang dimiliki.

“Termasuk Pariwisata Budaya, ini yang belum adil pemerintah dalam perundang-undangannya. Karena kalau bicara budaya di Bali kan bisa mencakup organisasi adat seperti LPD, sastra, subak dan lain-lain inilah yang harus diperjuangkan. Sumber daya tak berwujud, tapi menghasilkan buat negara berupa Devisa,” papar Rai Mantra kepada awak media, saat dikonfirmasi di Denpasar, Rabu (26/7/23).

Local accountability yaitu masyarakat daerah dapat secara langsung ikut bertanggung jawab dalam membangun dan mengembangkan segala potensi sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), dan sumber daya buatan (SDB) yang ada pada daerah bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan daerahnya.

Baca Juga  Sakit di Jepang, PMI Asal Jembrana Minta Dipulangkan

Konsep otonomi daerah dinilai mampu merangsang kreatifitas dan prakarsa daerah, dengan menggali berbagai potensi dan gagasan guna mewujudkan pelayanan publik dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Sementara itu, kalau titik penekanannya pada pembagian urusan, maka kewenangan daerah hanya sebatas urusan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, bertambah apabila ada penyerahan dari pemerintah.

Menurut Rai Mantra, masalah ini merupakan realita yang sudah berjalan dan terbukti faktanya, namun belum terakomodir dengan baik, sehingga konsep ini dirasa perlu lagi diperjuangkan sebagai harga diri masyarakat Bali.

“Bahkan tak sedikit ekonomi budaya Bali telah membuka banyak lowongan pekerjaan hingga kesempatan usaha, ini kan yang perlu kita perjuangkan secara kolektif, dari rakyat untuk rakyat. Budaya itu sumber daya strategis, pariwisata itu penyumbang devisa terbesar kedua di Indonesia setelah migas,” ungkapnya.

Melengkapi literasi tentang konsep otonomi khusus Bali, melalui pemanfaatan sektor pariwisata berbasis budaya sebagai sumber daya strategis, Kepala Dinas Pariwisata Daerah (Kadisparda) Provinsi Bali, Tjok Bagus Pemayun menyebut sesungguhnya saat ini Bali sudah diperlakukan sangat istimewa.

“Sebenarnya Bali sudah istimewa dengan adanya Undang-Undang (UU, red) nomor 15. Saya tidak mengatakan daerah istimewa, tapi disahkannya Undang-Undang oleh pemerintah pusat sudah memberikan payung hukum bagi Pemprov Bali, untuk semakin solid dalam penguatan dan pemajuan adat, tradisi, seni, budaya, dan kearifan lokal,” ucap Tjok Pemayun kepada wacanabali.com, saat dimintai tanggapannya, Minggu (30/7/23).

Baca Juga  Beredar Surat Penghentian Fasilitas DPD, Wedakarna: Saya Masih Anggota!

Menurutnya, UU RI Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali patut disyukuri secara bersama, dimana untuk mencapainya perlu perjuangan dan gotong royong dengan berbagai komponen masyarakat Bali, dapat dimaknai sebagai penanda sejarah peradaban Bali Era Baru.

Dengan berlakunya UU No. 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali sebagai pengganti dari UU No. 64 Tahun 1958 resmi dinyatakan berlaku sejak 4 Mei 2023, tepat sebulan sejak disahkan dalam Sidang Paripurna DPR RI tanggal 4 April 2023, kini Bali mempunyai dasar dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan.

“Perjuangan itu patut kita syukuri, karena sekarang Bali kan sudah boleh untuk mencari sumber-sumber pendapatan lain untuk kegiatan pariwisata. Menurut saya sudah istimewa sekali Bali saat ini,” tegasnya.

Dasar tersebut memperbolehkan Bali untuk menarik iuran dari Wisatawan Asing, ini merupakan hal yang diinginkan dari dulu, dimana Provinsi Bali memiliki sumber pendanaan lebih memadai untuk melakukan pembangunan, baik pembangunan infrastruktur, budaya, dan pariwisata.

Namun faktanya yang terjadi di Bali, rakyat ternyata tak kunjung sejahtera, Indikator paling terlihat adalah kemiskinan. Pertanyaannya, mengapa justru pada saat kewenangan diberikan kepada Bali kemiskinan justru meningkat? Bali makin tergantung pada daerah lain? Perosotan kualitas sumber daya manusia Bali juga terjadi?

Baca Juga  Gus Yoga Melenggang ke Tingkat II, Gerindra Denpasar Klaim Raih 9 Kursi

Diatas telah disinggung bahwa konsep otonomi khusus ini akan berhasil apabila ada pemahaman yang benar, komitmen yang kuat, dan kepemimpinan yang konsisten.

Mungkinkah hal itu bisa dicapai? Banyak kalangan menilai, diatas kertas secara teori, mungkin sepanjang masing-masing kabupaten dan kota di Bali itu memiliki prakondisi sama. Mewujudkan tujuan yang hendak dicapai dalam kebijakan otonomi khusus tersebut, khususnya peningkatan kesejahteraan rakyat.

Oleh karena itu, diharapkan kajian terhadap undang-undang otonomi khusus haruslah ditelaah secara intensif dari perspektif ini dan bukan semata-mata hanya dikatakan istimewa saja, implikasi dari problema ini akan sangat dirasakan daerah, ketika kita cermati penjelasan konsep otonomi khusus ini, bahwa sejalan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya, harus dilaksanakan pula prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab.

Pada akhirnya, pilihan mana pun yang diambil, akan sangat ditentukan oleh ada tidaknya kemauan politik serta terbangun tidaknya kesamaan pandangan dari masyarakat Bali itu sendiri. Kedua soal yang disebut terakhir ini acapkali masih saling bersinggungan.

Reporter: Krisna Putra

Editor: Ngurah Dibia