Marak Pernikahan Anak, Ipung: Itu ‘Pencabulan’
Denpasar – Pemerhati perempuan dan anak Siti Sapurah atau kerap disapa Ipung, mengomentari maraknya pernikahan anak usia dini. Dirinya menegaskan tidak ada istilah pernikahan anak usia dini.
“Tidak ada istilah pernikahan anak usia dini, jika hal itu terjadi sampai melakukan persetubuhan berarti itu masuk ranah pencabulan kepada anak di bawah umur sudah pasti bisa dipidana,” ujarnya kepada wacanabali.com Jumat, (28/7/23).
Lebih lanjut wanita yang juga berprofesi sebagai pengacara ini, menyampaikan regulasi pernikahan sudah jelas harus anak berusia 18 tahun plus 1 hari agar pernikahan tersebut dikatakan sah.
“Harus berusia 18 tahun plus satu hari baru pernikahan tersebut dikatakan sah secara hukum, jika di bawah itu sudah masuk ranah pidana serta yang menikahi diseret ke ranah hukum,” tambahnya.
Ipung menambahkan dalam kasus persetubuhan anak tidak ada istilah suka sama suka, walaupun sepasang kekasih.
“Cintanya tidak terlarang, yang menjadi masalah adalah persetubuhan karena anak di bawah umur tidak bisa dikatakan melakukan hubungan suka sama suka pasti ada bujuk rayu,” tandasnya.
Jika terjadinya kehamilan kepada anak di bawah umur walaupun kekasihnya mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan cara menikahi si perempuan Ipung menyampaikan itu tetap masuk ranah pidana.
“Tidak bisa walaupun dinikahi karena si anak (perempuan, red) di bawah umur itu ranahnya hukum pidana, jika pelakunya sama-sama di bawah umur maka dipidana dengan pidana anak. Jadi hukumannya setengah dari pasal yang disangkakan,” ulasnya.
Ipung berharap agar orangtua proaktif dalam mengawasi anaknya agar tidak terjadi hal serupa.
“Orangtua harus aktif memberikan pengetahuan seks kepada anaknya serta memberikan batasan bagi anaknya terutama pada usia puber,” tutup Ipung.
Seperti yang diberitakan sebelumnya Ketua Komisi Penyelenggara dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Bali Ni Luh Gede Yastini menjelaskan perkawinan anak di Bali didominasi oleh faktor kemiskinan dan kehamilan tidak diinginkan (KTD).
“Ketidakmampuan secara ekonomi ini kemudian menjadikan perkawinan perempuan usia anak terjadi. Karena keluarga menganggap ketika anak dikawinkan, maka tanggung jawab penghidupan beralih dari orang tua kepada suami atau keluarga suami,” jelasnya kepada wacanabali.com, Senin (17/7/23).
Selain itu, tak sedikit orangtua beranggapan KTD adalah aib keluarga. Sehingga, perkawinan dianggap sebagai jalan keluar untuk permasalahan tersebut.
“Sementara dari sisi adat dan budaya ada pandangan bahwa ketika terjadi kehamilan maka harus diselesaikan dengan perkawinan,” pungkas Yastini.
Reporter: Dewa Fathur
Editor: Ngurah Dibia

Tinggalkan Balasan