Oleh: Efatha Filomeno Borromeu Duarte

Pertama dapat kita lihat bahwa, pemilihan Gubernur Bali 2024 memperlihatkan dinamika yang mencerminkan kebutuhan mendasar akan pembangunan berkelanjutan. Dengan kontribusi sektor pariwisata terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 21,17% pada triwulan II 2024 dan perputaran sekitar Rp40 triliun dari sektor ini, ketergantungan ekonomi, ketimpangan pembangunan wilayah, serta otonomi desa adat menjadi fokus utama. Dari ketergantungan pariwisata, ketimpangan investasi wilayah, hingga isu kepemilikan lahan asing, tantangan yang dihadapi Bali kini menuntut pembaruan kebijakan yang signifikan.


Pariwisata

Menarik untuk disoroti bahwa ekonomi Bali sangat bergantung pada pariwisata, yang menyumbang lebih dari seperlima PDRB, dengan pertumbuhan jumlah wisatawan internasional mencapai 6,3 juta pada 2023 dan wisatawan domestik sekitar 10 juta. Ketergantungan ini menjadi rentan saat krisis, seperti pada pandemi COVID-19, ketika angka pengangguran mencapai 9,31% pada 2020, dan pendapatan asli daerah (PAD) turun lebih dari 50%. Untuk menjaga ketahanan ekonomi Bali, perlu dilakukan diversifikasi ekonomi, sesuai konsep structural economic vulnerability.

Pasangan Calon 1 (Paslon 1) menyoroti diversifikasi ekonomi sebagai solusi jangka panjang dengan fokus pada sektor pertanian organik, ekonomi kreatif, dan UMKM. Data BPS menunjukkan bahwa sektor pertanian Bali berkontribusi kurang dari 14% terhadap PDRB, sementara sektor pertanian organik menyumbang sekitar 3%. Untuk memperkuat sektor-sektor ini, perlu kebijakan yang mendukung petani lokal dan pelaku UMKM melalui insentif dan infrastruktur. Program Bali Trade Center dan pelatihan intensif UMKM adalah langkah awal yang mereka usulkan.

Sebaliknya, Paslon 2 mengusulkan mempertahankan pariwisata sebagai pilar utama ekonomi, tetapi dengan fokus pada pemerataan wilayah melalui pembangunan infrastruktur di Bali Utara. Saat ini, sekitar 70% kunjungan wisatawan terpusat di Bali Selatan. Pemerataan ini diharapkan dapat meningkatkan PAD di Bali Utara hingga Rp1 triliun per tahun. Namun, pembangunan ini harus didampingi dengan kajian lingkungan yang mendalam mengingat wilayah Bali Utara memiliki kawasan hutan yang mencapai 40% luas wilayah dan menjadi daya dukung ekologi penting bagi Bali.

Ketimpangan Wilayah dan Akses Infrastruktur

Faktanya investasi infrastruktur di Bali Selatan, khususnya di Badung dan Denpasar, meningkat dua kali lipat dibanding Bali Utara dalam satu dekade terakhir, dengan 78% investasi pembangunan infrastruktur terkonsentrasi di wilayah tersebut. Ketimpangan ini menjadikan Bali Selatan sebagai episentrum pariwisata sementara Bali Utara tertinggal dalam aksesibilitas dan pembangunan fasilitas dasar.

Baca Juga  Ini Kata Cok Ace Soal Konsep Koster-Giri Bangun Pariwisata Bali ke Depan

Paslon 2 mengusulkan pembangunan bandara di Bali Utara dan pembangunan jalan pintas atau shortcut untuk meningkatkan konektivitas antarwilayah. Dengan kunjungan wisatawan ke Bali Utara yang hanya sekitar 1,5 juta per tahun dibanding Bali Selatan yang mencapai 8 juta, infrastruktur baru diharapkan dapat memperbaiki distribusi kunjungan dan mendorong peningkatan ekonomi lokal. Namun, berdasarkan kajian dari World Tourism Organization (UNWTO), infrastruktur di wilayah sensitif memerlukan daya dukung ekologis yang kuat untuk menghindari kerusakan lingkungan.

Paslon 1 berfokus pada peningkatan efisiensi transportasi di Bali Selatan, seperti MRT, jalan tol, dan sistem park-and-ride untuk mengurangi kemacetan di kawasan pariwisata padat. Meski solusi ini lebih bersifat jangka pendek, Bali tetap membutuhkan solusi menyeluruh dalam pengembangan infrastruktur di seluruh wilayah. Pendekatan ini memungkinkan Bali mencapai pemerataan ekonomi tanpa mengorbankan lingkungan di daerah sensitif.

Otonomi Desa Adat dan Tantangan Politisasi

Menarik untuk diliat bahwa desa adat di Bali memainkan peran penting dalam mempertahankan identitas budaya dan sosial masyarakat Bali. Desa adat mengelola sekitar 22% dari tanah di Bali, mencakup 1.488 desa yang bertanggung jawab atas nilai-nilai budaya lokal. Namun, keterlibatan desa adat dalam politik praktis menjadi salah satu perdebatan utama dalam Pilgub 2024.

Paslon 1 menyarankan agar desa adat tetap independen dari pengaruh politik praktis untuk memastikan bahwa mereka fokus menjaga kelestarian budaya dan sosial Bali. Sebaliknya, Paslon 2 berpendapat bahwa keterlibatan desa adat dalam politik adalah hak warga negara, namun merekomendasikan regulasi ketat untuk menghindari politisasi yang berlebihan. Dalam konteks ini, kebijakan perlindungan desa adat harus disusun dengan matang agar dapat menjaga daya tarik budaya yang menjadi nilai wisata Bali.

Pengaturan Kepemilikan Lahan Asing dan Praktik Nominee

Harus diketahui bersama bahwa kepemilikan lahan asing melalui skema nominee menjadi perhatian besar dalam Pilgub Bali 2024. Lebih dari 20% transaksi properti di Bali melibatkan pihak asing dengan nilai transaksi melebihi Rp6 triliun setiap tahunnya. Paslon 1 menolak skema nominee dan menekankan perlunya audit berkala terhadap kepemilikan lahan di Bali untuk menjaga kepemilikan lokal. Mereka melihat bahwa skema nominee dapat melemahkan akses masyarakat Bali terhadap aset penting.

Baca Juga  Dilema Pariwisata Bali: Kawasan Suci Jadi Tempat Wisata?

Paslon 2 mendukung penyusunan Peraturan Daerah (Perda) nominee untuk memperketat pengawasan dan mengurangi praktik ilegal kepemilikan lahan oleh warga asing. Perda ini diusulkan agar skema nominee tetap diawasi secara ketat demi menjaga kepentingan lokal. Pendekatan ini perlu perencanaan yang matang agar tidak meningkatkan spekulasi harga tanah yang berdampak pada ekonomi lokal.

Pariwisata Berkualitas dan Risiko Komodifikasi Budaya

Pariwisata berkelanjutan menjadi konsep utama dalam menjaga keseimbangan ekonomi, budaya, dan lingkungan di Bali. Paslon 1 mendukung pendekatan quality tourism yang fokus pada wisata berbasis budaya dan alam. Mereka menyarankan subsidi bagi wisata berbasis budaya, dengan rata-rata pengeluaran wisatawan sekitar Rp2 juta per hari, jauh lebih tinggi dibandingkan wisatawan massal yang hanya sekitar Rp800 ribu per hari. Berdasarkan studi dari Thailand, pariwisata berbasis budaya dan ekologi terbukti lebih stabil dan tahan terhadap perubahan tren pariwisata global.

Sebaliknya, Paslon 2 mendukung subsidi pajak untuk sektor hiburan sebagai upaya meningkatkan pendapatan daerah dan menciptakan lapangan kerja baru. Meski berpotensi menarik wisatawan dalam jumlah besar, pendekatan ini juga berpotensi meningkatkan komodifikasi budaya yang dapat mengubah persepsi Bali sebagai destinasi budaya. Berdasarkan pengalaman dari Santorini dan Phuket, pariwisata massal yang tidak terkontrol sering menyebabkan kerusakan budaya lokal dan lingkungan jangka panjang.

Argumentasi

Dalam konteks Pemilihan Gubernur Bali 2024, terlihat bahwa pemimpin yang diharapkan oleh masyarakat Bali adalah sosok yang mampu menjawab persoalan ketergantungan ekonomi terhadap sektor pariwisata dengan langkah diversifikasi ekonomi yang tegas. Upaya mendorong sektor non-pariwisata seperti pertanian organik, ekonomi kreatif, dan UMKM untuk mencapai kontribusi sebesar 10% terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dalam lima tahun ke depan merupakan kebijakan penting untuk menjaga daya tahan ekonomi Bali di tengah potensi fluktuasi sektor pariwisata yang sensitif terhadap krisis global dan nasional. Langkah ini menuntut adanya insentif nyata, pelatihan khusus, dan infrastruktur pendukung agar mampu menguatkan ketahanan ekonomi lokal. Di sisi lain, pengaturan kepemilikan lahan asing melalui peraturan daerah (Perda) nominee yang transparan menjadi esensial untuk menjaga agar aset-aset strategis tetap berada dalam kepemilikan masyarakat lokal. Audit berkala diharapkan mampu mengawasi praktik nominee dan mencegah spekulasi yang dapat menggeser keseimbangan kepemilikan tanah dari warga lokal ke pihak asing, yang akan berdampak pada ketahanan budaya dan ekonomi jangka panjang.

Baca Juga  Bukan Melegalkan yang Ilegal, Perda Nominee Dianggap sesuai Ketentuan Undang-Undang

Lebih jauh, pembangunan infrastruktur berbasis ekologis menjadi titik krusial dalam rencana pembangunan Bali, khususnya terkait proyek bandara Bali Utara. Kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang ketat, serta pelibatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) independen dan partisipasi publik, diperlukan untuk menjaga keseimbangan ekologis yang rentan. Ini bukan sekadar pembangunan fisik, melainkan perlu diiringi dengan pemahaman menyeluruh mengenai daya dukung lingkungan, mengingat Bali mengandalkan daya tarik alam yang berkelanjutan sebagai bagian dari sektor pariwisatanya. Langkah tegas dalam penguatan otonomi desa adat di Bali juga harus diperhatikan, mengingat desa adat tidak hanya memegang peranan kultural, tetapi juga sosial dan ekonomi. Pembatasan intervensi politik dalam desa adat bertujuan untuk menjaga nilai-nilai kearifan lokal yang melekat pada masyarakat Bali dan memastikan desa adat tetap menjadi pilar identitas budaya Bali yang autentik.

Selanjutnya, pendekatan pariwisata berkualitas, dibandingkan pariwisata massal, perlu diperkuat dengan mengarahkan subsidi fiskal pada wisata budaya dan alam ketimbang pada sektor hiburan yang kerap kali mengarah pada komodifikasi budaya. Subsidi pada wisata berbasis budaya, misalnya, akan menarik wisatawan yang menghargai aspek keberlanjutan budaya dan lingkungan, memberikan dampak ekonomi yang lebih berjangka panjang, serta menghindari risiko kerusakan lingkungan yang sering kali diakibatkan oleh arus wisatawan dalam jumlah besar.

Pilgub Bali 2024 menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang benar-benar memahami pentingnya keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian budaya serta lingkungan. Bali, dengan kekayaan kulturalnya yang luar biasa, berada di titik kritis untuk bisa menjadi model pembangunan yang berkelanjutan, inklusif, dan terarah. Kebijakan yang berorientasi pada keberlanjutan seperti ini bukan hanya akan menguntungkan secara ekonomi tetapi juga menjadi teladan dalam menjaga kearifan lokal di tengah tuntutan modernisasi.