Tabanan – Sengketa tanah plaba (aset) Pura Dalem Desa Adat Kelecung melawan A A Mawa Kesama CS (ahli waris Jro Marga) selaku pihak penggugat memasuki babak baru. Dalam fakta persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Tabanan, Prof. Dr. I Made Suwitra, SH., MH., selaku Ahli Hukum Adat dan Agraria menjelaskan, Sertifikat Hak Milik (SHM) merupakan bukti kuat kepemilikan yang bukan lagi dalam konteks penguasaan, Kamis (25/1/24).

Dalam perkara gugatan No. 190/Pdt.G/2023/PN Tabanan dengan agenda keterangan saksi ahli tersebut diungkapkan, semestinya pihak penggugat melakukan gugatan terhadap proses pensertifikatan bukan terhadap alas hak yang sudah terbit dan sah secara hukum kepemilikan. Penggugat juga harus bisa membuktikan, bahwa proses pensertifikatan dan penguasaannya tidak benar.

Baca Juga  Tanda Tangani Ikrar, Kepala Desa harus Jaga Netralitas dalam Pilkada 2024

“Sebenarnya kalau klaim itukan atas dasar apapun adalah hak daripada individu. Tapi klaim ini kan harus dibuktikan dari adanya kepemilikan, dalil-dalil yang disampaikan harus kuat menjadi dasar. Dalam hal ini desa adat (Kelecung, red) kan sudah memiliki bukti kuat (SHM, red), jadi pihak penggugat harusnya menggugat proses pensertifikatannya, bukan sertifikatnya. Karena ini kan ranahnya peradilan umum kalau sertifikat ranahnya itu peradilan tata usaha negara,” jelas Prof Suwitra, saat ditemui langsung oleh wartawan wacanabali.com.

Menurut kacamata Prof Suwitra melihat, dari data yang ada tanah sengketa merupakan Tanah Ulayat. Karena statusnya tidak ada diatas pihak lain, apalagi dilihat dari ciri fisiknya yang sejak dulu sudah dikuasai oleh desa ataupun krama (masyarakat) adat untuk berbagai kegiatan, termasuk kegiatan-kegaiatan nelayan ataupun petani garam memanfaatkan tanah ulayat ini dari sisi ekonomi.

Baca Juga  Dokar Nasibmu Kini, Tersisa hanya 6 Buah

“Tanah ulayat (tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, red) ini kan hak daripada krama desa, mereka menggunakan dan memanfaatkan termasuk mengambil hasil sumber daya yang ada di wilayah ulayatnya. Semua dirumuskan dalam pasal 1 UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria, red) dalam konteks penguasaan negara, dalam konteks hukum adat penguasaannya oleh desa adat dan masih diakui sebagai badan persekutuan hukum di Bali,” pungkas Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Warmadewa tersebut.

Lebih lanjut ia menjelaskan, dengan terbitnya SHM Nomor 2184 milik Desa Adat Kelecung atas nama Pura Dalem Desa Adat Kelecung, sudah sesuai prosedur karena sebelum berlakunya Permen Agraria ATR no. 276/2017 dasar yang dipakai adalah SK Menteri Dalam Negeri DJA No. 556 th 1986, merupakan bukti sah adanya konversi dari penguasaan menjadi kepemilikan. SHM merupakan bukti yang kuat dalam konteks kepemilikan dan bukan lagi dalam penguasaan.

Baca Juga  Utami Dwi Suryadi Ungguli Adik AWK di Pileg Provinsi

“Kalau ada klaim penguasaan itukan harus dibuktikan. Harus ada hubungan secara langsung antara yang bersangkutan dengan objeknya, apakah itu dikelola atau dimanfaatkan. Kalau itu tidak dilakukan berarti tidak benar penguasaan, siapapun pihak yang mampu membuktikan adanya penguasaan dialah yang betul-betul boleh mengklaim sebagai hak menguasai,” tutupnya.

Reporter: Gung Krisna

Editor: Ngurah Dibia