Menisik ala Suku Kajang: Cara Merawat Bumi dalam Lautan Fast Fashion
Denpasar – Soroti keberadaan fast fashion dan perilaku konsumtif terhadap pakaian, Dosen Desain dan Produk Lifestyle Universitas Surabaya (Ubaya) Ninik Juniati ajak masyarakat belajar dari tradisi menisik ala Suku Kajang, Sulawesi Selatan.
“Sekarang tuh ada tren orang lebih suka membeli pakaian baru daripada memperbaikinya,” ujar Ninik kepada Wacanabali.com di Denpasar, Jumat (2/8/24).
Fast fashion atau produksi fesyen yang cepat berpengaruh terhadap kecenderungan masyarakat menjadi konsumtif dalam menikmati produk-produk fesyen. Ia menilai, hal itu membuat masyarakat enggan untuk mencoba melakukan perbaikan terhadap pakaian yang rusak.
Padahal, merujuk pada data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SIPSN KLHK) pada tahun 2021 terdapat sekitar 2,3 juta ton limbah tekstil yang diproduksi Indonesia. Hal ini menunjukkan, perlu keseriusan dalam merespon persoalan fesyen serta kaitannya dengan dampak lingkungan.
Lebih lanjut diterangkan, menisik secara sederhana merujuk pada aktivitas menjahit yang bertujuan untuk memperbaiki kerusakan atau sobekan pada kain. Menisik dianggap sebagai rekacipta atau upcycling yang terdiri atas 3R yakni reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), dan recycle (mendaur ulang).
Menariknya, sambung Ninik, hal serupa justru telah mentradisi bagi Suku Kajang lewat kegiatan yang disebut Pa’ tampeng. Melalui penelitiannya yang bertajuk “Pintala Le’Leng Na Puteh: Preservasi Tope’ Le’Leng dan Aktualisasi Art Fashion Tisik Tampeng”, Ninik menekankan pada pentingnya konsep sustainable fashion atau pendekatan dalam industri mode yang berfokus pada produksi dan konsumsi pakaian dengan meminimalisir dampak negatifnya terhadap lingkungan.
Lewat balutan art fashion, Ninik mengajak masyarakat melakukan aktivitas menisik kain guna menekan perilaku konsumtif terhadap produk-produk fesyen.
“Bisa kok kita tampil fashionable bahkan hanya dengan selembar kain. Cuma, memang perlu memasukkan unsur kreativitas disana,” sambungnya.
Kedepan, dirinya juga berharap para pelaku fesyen tidak hanya berfokus pada penciptaan produk tapi juga meningkatkan kesadaran dalam upaya-upaya mengelola limbah tekstil yang dihasilkan.
“Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan metode menisik ini,” tandas Ninik.
Tinggalkan Balasan