Denpasar – Pengamat sekaligus ahli pertanahan Bali, Wayan ‘Dobrak’ Sutita SH menilai ada permainan mafia di balik penanganan kasus yang melibatkan tanah dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang sah, namun dilaporkan dalam perkara pidana. Menurut Wayan Dobrak, kasus ini mencurigakan dan bisa jadi merupakan bagian dari praktik mafia tanah yang kerap terjadi di Bali.

“Dengan bukti legal formal yang lengkap, tanah tersebut seharusnya tidak bisa diproses dalam ranah pidana,” ujar Wayan Dobrak, Kamis (7/11/24) menanggapi perkara pidana yang dialami Anak Agung Ngurah Oka, penglingsir (tetua) keluarga Jero Gede Kepisah, Denpasar Bali atas sengketa tanah kurang lebih 8 hektar di Subak Kerdung, Pedungan, Denpasar.

Wayan Dobrak menyoroti adanya kejanggalan dalam penanganan kasus tersebut, yang sudah sempat dihentikan melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan dimenangkan dalam proses pra-peradilan, namun tiba-tiba muncul lagi dengan laporan pidana yang baru membawa kasus ini kembali ke proses hukum.

Ia mengatakan, jika tanah sudah memiliki sertifikat yang sah, seperti yang tertera dalam SHM, maka proses hukum harusnya mengikuti jalur yang benar, yakni melalui pengadilan perdata atau tata usaha negara (TUN), jika ada klaim tentang pembatalan sertifikat. Ia juga menambahkan bahwa, jika ada pihak yang merasa memiliki bukti atas klaim mereka, seharusnya hal tersebut dapat dibuktikan melalui jalur peradilan yang tepat, bukan pidana.

Lebih lanjut, Wayan menyebutkan bahwa ia mengetahui pelapor dalam kasus ini sering terlibat dalam sejumlah laporan tanah milik orang lain. “Saya bekerja 12 tahun di kantor pertanahan, nama pelapor ini sudah sering terdengar. Banyak tanah orang lain yang dilaporkan olehnya,” kata Wayan, yang semakin yakin bahwa ada niat tidak baik di balik laporan ini.

Wayan ‘Dobrak’ Sutita SH.
Wayan ‘Dobrak’ Sutita SH.

Ia juga mengingatkan tentang komitmen Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR), Nusron Wahid, yang pernah menyatakan kesiapannya untuk membasmi mafia tanah. “Kita harus melihat ini sebagai bagian dari upaya membongkar mafia tanah yang ada. Ini jelas sangat mencurigakan dan perlu penanganan yang transparan,” ujarnya.

Wayan Dobrak mengatakan kasus ini harus segera diperjelas oleh aparat penegak hukum dan meminta agar pihak yang merasa dirugikan dapat menempuh jalur hukum yang sah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kasus ini, menurutnya, berpotensi besar untuk membuka tabir praktik mafia tanah yang selama ini mungkin sulit untuk diungkap.

Kontroversi Perkara Perdata Jadi Pidana

Sebelumnya, Kontroversi perkara ini juga menarik perhatian Wayan Setiawan, penggiat media sosial di Bali. Ia mengaku prihatin dengan penegakan hukum karena belum lama ini masyarakat Bali juga dihebohkan oleh kasus yang dialami Wayan Sukena karena memelihara Landak Jawa. Berkat atensi dan simpati netizen, diketahui Wayan Sukena akhirnya dapat dituntut bebas.

“Sebagai penggiat medsos, saya masih ingat, Presiden Joko Widodo pernah mengatakan ‘basmi mafia tanah’. Saya merasa terketuk hati mengenai kasus tanah yang menimpa keluarga Jero Kepisah,” ungkap Wayan Setiawan saat berdialog dengan Ngurah Oka, di kediaman keluarga Jero Kepisah beberapa waktu lalu.

Baca Juga  Jerit Warga Bali Diduga Korban Kriminalisasi Mafia Tanah Mencari Keadilan

Ngurah Oka menjelaskan perkara ini berawal sekitar tahun 2014. Pelapor diketahui adalah Anak Agung Ngurah Eka Wijaya (Eka Wijaya) dari keluarga Jero Jambe Suci (Jero Suci), Desa Dauh Puri Kangin, Kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar Bali mendatangi kediaman Ngurah Oka di Jero Gede Kepisah, Kelurahan Pedungan, Denpasar Selatan.

Eka Wijaya mengaku berhak atas sejumlah bidang tanah waris berupa sawah itu dan kedatangannya untuk minta agar tanah tersebut dibagi.

Sontak, pernyataan pelapor itu membuat Ngurah Oka dan keluarga kaget. Mereka pun menolak permintaan itu lantaran tidak kenal dan tidak ada hubungan saudara. Terlebih, selama keluarga Jero Kepisah menguasai tanah tersebut sejak empat generasi leluhurnya tidak pernah ada pihak manapun yang mempermasalahkannya.

“Kami tidak ada hubungan saudara. Tidak ada hubungan memisan atau memindon (hubungan saudara sepupu, red). Bahkan kenal pun tidak. Selama kami upacara di merajan gede di sini (pura utama keluarga) dia (pelapor, red) juga tidak pernah datang, keluarganya tidak pernah datang. Karena memang tidak ada hubungan keturunan,” ungkap Ngurah Oka, salah satu tetua keluarga Jero Kepisah.

“Saya tau orang ini pun baru-baru karena dia mengklaim. Kami ini keluarga Jero Kepisah, dia itu yang kami tau dari Jero Suci. Lain desa, lain kecamatan tidak ada hubungan saudara. Datang-datang kesini minta bagian, bikin keluarga kami di sini jengkel, tumben ketemu, ngomong, minta dibagi, ‘siapa kamu, saya bilang’,” imbuhnya.

Upaya Mempidanakan Jero Kepisah

Merespon penolakan itu, Eka Wijaya memperkarakannya dengan membuat laporan polisi dengan tuduhan pasal 385 KUHP yakni penyerobotan tanah dan pasal 263 KUHP yakni pemalsuan dokumen otentik dalam hal ini silsilah keluarga. Perkara itu diproses hingga Ngurah Oka ditetapkan sebagai tersangka.

Atas penetapan tersangka itu, kuasa hukum Jero Kepisah, Dr Drs Agung Ngurah Agung SH MH mengatakan pihak keluarga lantas mengajukan pra-peradilan yang mana majelis hakim pra-peradilan Pengadilan Negeri (PN) Denpasar dalam amar putusannya menyatakan tidak terpenuhi unsur yang disangkakan terhadap Ngurah Oka.

“Artinya pasal 385 dan 263 KUHP yang disangkakan kepada Ngurah Oka sudah diputus oleh pengadilan pra peradilan PN Denpasar tidak terpenuhi. Akhirnya oleh penyidik dalam waktu kurang lebih satu bulan diterbitkanlah surat perintah penghentian penyidikan (SP3),” kata Agung Ngurah Agung.

Berdasarkan SP3 itu, lanjutnya, pihak keluarga mengajukan permohonan membuka blokir pensertifikatan objek tanah tersebut di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bali dan pengajuan permohonan pensertifikatan melalui program PTSL (pendaftaran tanah sistematis dan lengkap) dapat disetujui oleh BPN dan terbitlah sertifikat (SHM).

Baca Juga  Error in Persona? PH Jro Kepisah Yakin Eksepsi Dikabulkan Hakim

Setelah terbit SHM, tanpa sepengetahuan pihak keluarga Jero Kepisah, ada laporan baru lagi ke Direktorat Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Bali dengan dugaan melanggar pasal 263 KUHP pemalsuan silsilah.

Laporan itu kata Ngurah Agung, sempat mandek sekian lama, namun Dirkrimum kemudian mengalihkan penanganan laporan tersebut ke Direktorat Kriminal Khusus (Dirkrimsus) dengan laporan baru sangkaan pasal 263 dan TPPU (tindak pidana pencucian uang).

“Dalam perjalanan kelanjutannya TPPU nya hilang dalam berkas sangkaannya pasal 263 KUHP ditangani oleh Dirkrimum Polda Bali. Harusnya kan pasal 263 KUHP itu di Krimum (Dirkrimum, red) yang menangani,” kata Ngurah Agung.

Kejanggalan Proses Hukum Jero Kepisah

Yang sekarang terjadi, ungkap Ngurah Agung, jaksa di tahun 2023 dalam petunjuknya atas berkas yang dikirim penyidik Dirkrimsus Polda Bali, meminta agar penyidik terlebih dahulu membuktikan kepemilikan pihak yang sah melalui pengadilan perdata dan pengadilan tata usaha negara.

Namun, kata Ngurah Agung, kejanggalan terjadi. Jaksa saat ini justru menetapkan status berkas perkara lengkap (P-21) padahal petunjuk sebelumnya agar penyidik membuktikan status kepemilikan objek tanah yang disengketakan melalui peradilan perdata atau tata usaha negara belum dipenuhi.

Ngurah Agung mengatakan proses penetapan P-21 dalam kasus ini tidak lazim. Ia menegaskan bahwa penetapan status P-21 seharusnya tidak dilakukan tanpa memastikan semua petunjuk jaksa sebelumnya telah dipenuhi.

Penyidik seharusnya membuktikan status hak pelapor atas tanah itu terlebih dahulu, setelah terbukti baru kemudian dapat diproses secara pidana jika di dalamnya terdapat unsur perbuatan pidana yang dilakukan oleh terlapor.

“Yang paling penting dalam kasus ini adalah penegak hukum seharusnya minta pelapor membuktikan dulu bukti haknya atas tanah yang diklaim. Petunjuk dari Karowassidik (Kepala Biro Pengawasan Penyidikan) Polri saat kami melapor juga seperti itu. Agar penyidik Polda Bali (yang menangani laporan, red) memenuhi petunjuk jaksa yaitu membuktikan status keperdataan hak si pelapor atas objek tanah itu,” tegasnya.

Ngurah Agung mengatakan pelapor mengklaim tanah kliennya dengan dokumen pipil dan dokumen eigendom verponding seperti pajak dan bukti bayar IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah), yang mana dokumen-dokumen tersebut, menurutnya, secara hukum kepemilikan tanah sudah tidak berlaku sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

“Jadi kalau pun dia (pelapor) punya pipil atau bukti lain tapi tidak didaftarkan ke negara, negara yang berhak atas tanah tersebut. Apalagi dia tidak menguasai fisik objek tanah yang diklaim ini. Jelas selama ini turun temurun selama empat generasi klien kami yang menguasai fisik objek tanah itu. Dan sekarang sudah dibuktikan dengan sertifikat hak milik (SHM),” paparnya.

Sementra terkait silsilah, Ngurah Agung menggarisbawahi bahwa meskipun ada perbedaan pada silsilah yang digunakan kliennya dalam pengajuan sertifikat tanah antara bidang yang satu dengan yang lain, hal tersebut adalah sepenuhnya hak kliennya yang telah disepakati di internal keluarga.

Baca Juga  Wakil Ketua DPRD Denpasar: Mafia Tanah Bermain Terstruktur dan Sistematis

“Perbedaan pada silsilah yang diakui keluarga tidak bisa dijadikan dasar pemalsuan. Itu adalah hak keluarga dan telah disepakati di antara mereka. Tidak bisa orang yang tidak ada hubungan keluarga kok mempermasalahkannya. Itu sepenuhnya hak klien kami berdasarkan kesepakatan di internal keluarga,” tegasnya.

Jaksa Agung Ingatkan Jaksa Cermat dan Hati-Hati

Ngurah Agung juga mengungkapkan, bahwa Jaksa Agung Republik Indonesia dalam surat edarannya pernah mengingatkan seluruh Kepala Kejaksaan Tinggi dan Negeri di Indonesia agar cermat dan berhati-hati dalam menangani laporan pidana yang terkait dengan kepemilikan tanah.

Dalam surat itu, Jaksa Agung menegaskan agar jaksa memastikan terlebih dahulu status kepemilikan tanah sengketa. Jika status bukti kepemilikannya jelas menurut ketentuan undang-undang, yakni telah bersertifikat hak milik (SHM), maka jika ada pihak yang melanggarnya, misalnya berupa penyerobotan tanah, maka kasus tersebut dapat dipidanakan.

Sebaliknya, jika belum jelas status kepemilikannya (belum ada SHM) maka kasus tersebut berada pada ranah perdata dan merupakan perkara perdata murni sehingga tidak selayaknya digiring dipaksakan masuk menjadi perkara pidana.

“Jadi kalau seperti ini (tanpa pembuktian hak pelapor atas tanah yang diklaim, red), ini indikasi pelanggaran. Jaksa telah melakukan pelanggaran dalam penetapan P-21. Jadi patut dicurigai, ada motif apa jaksa ini?,” singgung Ngurah Agung.

Kejati Bali Sebut P-21 Sesuai Prosedur

Sebelumnya, Kasi Penkum Kejaksaan Tinggi Bali, Eka Sabana mengatakan bahwa semua proses hukum yang berlangsung telah sesuai dengan prosedur yang berlaku. Menurutnya, seluruh alat bukti yang diserahkan sudah memenuhi syarat untuk mendukung dakwaan.

“Penuntut Umum telah melakukan penilaian atas alat bukti yang diperlukan dan telah dinyatakan lengkap (P-21) oleh penyidik. Jika ada keberatan dari kuasa hukum terdakwa, itu bisa diuji di pengadilan,” kata Eka Sabana.

Pelapor Klaim Objek Sengketa Milik Leluhurnya

Dikonfirmasi terkait laporan tersebut, Eka Wijaya melalui kuasa hukumnya, Agustinus Winjaya mengatakan Eka Wijaya melaporkan Ngurah Oka atas dugaan memalsukan silsilah leluhur kliennya, yakni almarhum I Gusti Raka Ampug. Dengan silsilah tersebut, katanya, terlapor memohon pensertifikatan tanah seluas kurang lebih 8 hektar di Subak Kerdung, Pedungan milik almarhum I Gusti Raka Ampug.

Lebih lanjut, Winjaya mengatakan tidak menempuh jalur perdata atau gugatan pengadilan tata usaha negara atas terbitnya SHM objek sengketa menjadi atas nama keluarga Jero Kepisah lantaran yang kliennya laporkan dalam perkara ini adalah dugaan pemalsuan silsilah.

“Dasar pelaporan kami karena terlapor telah memalsukan silsilah leluhur klien kami, I Gusti Raka Ampug. Silsilah itu yang kemudian digunakan memohon penerbitan sertifikat objek tanah milik leluhur klien kami yang terletak di Subak Kerdung, Jalan Pulau Moyo (Denpasar Selatan, red),” ungkapnya.