Denpasar – Sebuah spanduk bertuliskan “Jangan Kriminalisasi Keluarga Kami” terbentang di tangan sejumlah orang. Mereka adalah keluarga Jero Kepisah yang tengah berjuang mencari perlindungan hukum atas dugaan kriminalisasi yang tengah dialaminya.

“Masihkan ada hukum di negara ini. Masihkah ada keadilan. Masihkah ada nurani di hati mereka (aparat penegak hukum, red). Semoga mereka mendengar dan melihat (spanduk, red),” kata AA Ngurah Oka, salah satu penglinsir (tetua) keluarga Jero Kepisah, Selasa (3/12/24).

Sudah 9 tahun keluarga Jero Kepisah menghadapi prahara hukum ini. Ngurah Oka selaku penglinsir di keluarga tersebut nampak menjadi target kriminalisasi mafia yang mengincar tanah waris seluas 8.6 hektar di Subak Kerdung, Pedungan, Denpasar Selatan milik keluarga Jero Kepisah.

Tanah waris berupa sawah tersebut sudah dimiliki dan dikelola oleh keluarganya turun-temurun selama empat generasi, dan kini tanah sawah yang terdiri dari 16 bidang itu telah bersertifikat hak milik (SHM) atas nama ahli waris keluarga Jero Kepisah yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).

SHM merupakan dokumen resmi yang diterbitkan negara sebagai bukti sah kepemilikan tanah. Sertifikat ini memberikan hak penuh kepada pemiliknya untuk menguasai, menggunakan, dan memperalihkan tanah sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Baca Juga  LP-KPK Pasang Plang Penguasaan Lahan, Kesbangpol Bali: Ini Model Arogansi LSM

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) diatur bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Pendaftaran diberi surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat dan jaminan bagi pemilik untuk memiliki hak atas tanah secara sah dan diakui oleh negara.

“Pendaftaran tersebut (hak milik tanah, red) meliputi pemberian surat-surat (SHM) tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat,” bunyi Pasal 19 Ayat 2 Huruf C, UU Pokok Agraria.

Berdasarkan riwayat kepemilikan dan ketentuan hukum, maka jelas keluarga Jero Kepisah pemilik sah tanah waris itu. Namun anomali hukum dan dugaan kriminalisasi dalam kasus ini terlihat saat Ngurah Oka diproses pidana oleh jaksa atas perkara yang seharusnya perdata.

Ahli hukum pidana Universitas Bhayangkara Surabaya, Prof Dr Sadjijono SH M.Hum mengatakan dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 tahun 1956 dijelaskan bahwa apabila ada sengketa perdata maka harus ditunda dulu pidananya.

Karena, jika di dalam sengketa perdata, terlapor atau tersangka menang dalam sengketa itu, maka pidananya akan otomatis gugur.

Baca Juga  Diisukan Berbahaya, BPN akan Selidiki Anggur Shine Muscat di Indonesia

“Dalam konsep dan teori hukum, ada suatu asas yang disebut pre-judicial geschil. Itu sebagai penjelasan Perma No 1 tahun 1956 bahwa apabila ada sengketa perdata maka ditunda pidananya. Jadi pidana yang ada hubungan dengan hak keperdataan yang harus dibuktikan, maka disitu ditunda dulu pidananya.”

“Bagaimana kalau ini tidak ditunda, maka di kemudian hari kalau perkara itu dilanjutkan, dan sengketa itu dimenangkan oleh terdakwa atau tersangka atau terlapor disini akan menjadi permasalahan hukum yang baru,” terang Prof Sudjijono.

Sudjijono menilai adanya sikap yang bertentangan dengan asas dan profesionalisme dari aparat penegak hukum yang menangani perkara ini. Pasalnya, perkara yang harusnya di ranah keperdataan terkesan dipaksa masuk menjadi perkara pidana.

“Kalau menurut pendapat saya ini bertentangan dengan profesionalismenya seorang penegak hukum, karena mestinya memahami tentang asas pre-judicial geschil itu. Asas kan sebagai suatu yang dipedomani dalam penegakan hukum.”

“Ketika di dalam penegakan hukum bertentangan dengan asas hukum yang berlaku dan mengikat, berarti itu ada perbuatan aparatnya yang bertentangan dengan asas hukum,” singgungnya.

Prof Sudjijono bahkan menilai ada dugaan maladministrasi dalam penetapan P-21 berkas perkara lengkap oleh jaksa padahal petunjuk jaksa sebelumnya agar penyidik membuktikan keabsahan status kepemilikan hak atas tanah tersebut belum dipenuhi.

Baca Juga  Babak Baru Sengketa Pelaba Pura Dalem Balangan, Sejumlah Pihak Terancam Dipidana

“P-21 itu kan maknanya berkas perkara itu sudah lengkap, unsur nya terpenuhi. Pertanyaannya, logika hukumnya bagaimana bisa mengatakan unsurnya sudah lengkap dan terpenuhi sedangkan masih ada petunjuk yang belum diselesaikan oleh penyidik. Dari situ berarti ini ada suatu konsep ketidakjujuran antara tempat satu dan yang lain.”

“Bagaimana kalau kemudian terjadi benturan itu tentunya ada suatu sikap yang dipengaruhi oleh individunya bukan lembaganya. Jadi disitu ada tindakan maladministrasi,” ujar Prof Sadjijono.

Sebelumnya, kuasa hukum keluarga Jero Kepisah, Wayan ‘Dobrak’ Sutita mengungkap dugaan adanya permainan mafia tanah di balik upaya mengkriminalisasi kliennya.

Wayan Dobrak mengatakan perkara yang seharusnya diselesaikan melalui proses hukum perdata justru terkesan dipaksakan masuk ke ranah hukum pidana sehingga kliennya Ngurah Oka ditetapkan sebagai Terdakwa.

Sehingga membuat perkara ini menjadi sangat ironis baik bagi kliennya maupun penegakan hukum di Indonesia.

“Telah tersirat jelas bahwa perkara ini adalah murni perkara perdata bukan pidana, tapi apa boleh dikata “Kejahatan Berkedok Penegakan Hukum“ terus dilakukan hanya karena Pelapor memiliki kemampuan finansial dan disinyalir didukung kekuatan “Mafia Tanah”,” ujar Wayan Dobrak.