“Politisasi Agama” Ancam Keberagaman, Prof Astana: Jaga Kedamaian Pemilu 2024 di Bali
Denpasar – Adanya politisasi agama jelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 di Bali menjadi sorotan salah satu pengamat sosial, Prof WD Astana, mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk selalu menjaga situasi damai jelang kontestasi 14 Februari 2024 mendatang, jangan mudah terpancing dengan isu ataupun ajakan yang berpotensi memecah belah masyarakat karena adanya perbedaan pilihan.
Hal tersebut diungkapkan Prof Astana kepada wacanabali.com saat ditemui langsung di kediamannya, di Renon, Denpasar. Ia menekanakan penting untuk selalu menjaga tali persaudaraan, sebagaimana konsep “Menyama Braya” yang selalu dijunjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat Bali, Sabtu (3/2/24).
“Momentum Pemilu 2024 ini berbeda sekali waktu zaman-zaman Pemilu sebelumnya, politik identitas dan politisasi agama kerap dipergunakan oleh sejumlah oknum peserta Pemilu. Menurut saya ini salah besar, mengaitkan politik dengan agama, bahaya sekali dan berpotensi memecah belah masyarakat. Untuk itu, saya meminta masyarakat jangan mudah terpancing dengan isu-isu yang belum tentu kebenarannya, apalagi ada ajakan-ajakan negatif kampanye yang mengaitkan dengan keagamaan. Jaga Pemilu 2024 ini tetap damai di Bali,” jelas Prof Astana.
Prof Astana menambahkan, politisasi agama menjadi sebuah ancaman nyata di masyarakat, kerap dimanfaatkan sejumlah pihak dengan cara memanipulasi pemahaman dan pengetahuan ataupun kepercayaan masyarakat dalam beragama. Kebanyakan pihak/oknum politisi menggunakan cara propaganda dan indoktrinasi dalam agenda kampanye mereka, sengaja disebarluaskan untuk mempengaruhi konsensus keagamaan di masyarakat demi kepentingan pribadi, tak menutup kemungkinan pemahaman masyarakat soal “Yadnya” Hindu Bali, sempat viral di Media Sosial (Medsos) beberapa waktu lalu.
“Tentu saya ingin menyampaikan kepada masyarakat, biarlah proses politik itu berjalan tanpa harus memecah belah kita. Memang, agama harus dijadikan dalam semua aspek kehidupan, termasuk aspek politik, tapi jangan sampai pemahaman masyarakat tentang agama itu dipakai hanya untuk mencapai tujuan politik pihak-pihak tertentu, masyarakat dipengaruhi manipulasi keagamaan, seperti halnya pemahaman masyarakat soal ‘Yadnya’ sengaja disusupi untuk meraih tujuan politik ini sangat beresiko sekali memecah belah masyarakat,” pungkasnya.
Senada dengan Prof Astana, Caleg Nasdem untuk DPRD Kota Denpasa, A A Ngurah Agung alias Turah Kingsan mengatakan, tak khayal politisasi agama acap kali berdampak negatif terhadap proses kontestasi politik jelang Pemilu. Luapan ego masyarakat yang terdoktrin dari manipulasi pemahamanan tentang agama, cenderung memecah belah perstauan tak terkecuali di Bali, sehingga masyarakat harus benar-benar berkaca dari kontestasi tahun-tahun sebelumnya agar perbedaan pandangan politik tidak sengaja dijadikan gesekan yang mengancam integrasi masyarakat.
“Saya berharap jangan ada pihak-pihak yang mencampuradukan pemahaman agama dengan kepentingan politik pribadi. Berbahaya sekali, bisa saja memicu konflik nantinya. Sebagai seorang Caleg saya menilai, di atas kontestasi politik (Pemilu, red) ada yang namanya politik kebangsaan, saya lebih mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok. Maka bagi saya politik kebangsaan menjadi suatu spirit (semangat, red) untuk pelaksanaan Pemilu yang sehat dan sumber energi positif di tengah perbedaan gerakan di masyarakat,” cetus Turah.
Turah mengatakan, pemahaman agama harus dijadikan landasan dalam berpolitik bukan justru sebaliknya. Menurutnya, hanya melalui persatuan dan kesatuan maka masalah di masyarakat bisa ditangani dengan baik.
Reporter: Gung Krisna
Editor: Ngurah Dibia
Tinggalkan Balasan